Senin, 28 Oktober 2013

Khiyar



BAB I
PENDAHULUAN
Segala puji kami ucapkan hanya kepada allah swt, satu-satunya dzat yang pantas untuk dipuji, tuhan semeta alam yang telah mengizinkan kami menyelesaikan tugas makalah ini, salawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita nabi akhiruzaman, yaitu nabi Muhammad saw yang telah menunjukan umatnya kejalan yang diridoi allah swt.
Semakin berkembangnya zaman, semakin pompleks pula permasalahan-permasalahan umat Muhammad saw dalam segala bidang khususnya di bidang  muamalat, salah satunya adalah dibidang jual beli, dimana isam adalah agama rahmatan lilalamin yang selalu menjunjung tinggi keadilan. Islam mengajari kejujuran, terbukti telah dicontohkan oleh nabi Muhammad sendiri ketika beliau sebagai pedagang, dimana ketika itu beliau sangat dipercaya oleh masyarakat arab pada masa itu, sampai-sampai seorang sodagar perempuan yang sangat kaya hatinya jatuh kepada beiau “khadijah” dikarenakan kejujuran beliau.
Di zaman sekarang marak sekali jual beli tidak sehat, yang pada akhirnya merugikan salah satu dari kedua belah pihak, oleh karena itu islam sendiri mengatur tata cara jual beli bagi umatnya, perjanjian-perjanjian agar tidak terjadi kecurangan sendiri telah diatur sejak lama, yang sampai sekarang lebih masyhur dengan nama “khiyar”. Sudah saatnya islam membuktikan kedunia bahwa sesungguhnya islam mempunyai metode yang sangat jitu dalam menyelesaikan berbagai masalah khususnya di zaman modern ini yang berbeda jauh dengan kapitalisme. Dengan menjunjung tinggi keadilan dan saling meridloi, maka kehidupan ini akan lebih baik.
Pada makalah ini, kami akan mengambil tema khiyar dengan rumusan:
a.       Pengertian khiyar;
b.      Hukum khiyar;
c.       Macam-macam khiyar; dan
d.      Hikmah khiyar
demikian rumusan ini kami buat, semoga bermanfaat.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Khiyar
Kata al-khiyar dalam bahasa arab berarti pilihan. Pembahasan al-khiyar dikemukakan para ulama fiqh dalam permasalahan yang menyangkut transaksi dalam bidang perdata khususnya transaksi ekonomi, sebagai hak bagi kedua belah pihak yang melakukan transaksi (akad) ketika terjadi beberapa persoalan dalam transaksi dimaksud.
Secara terminology, para ulama fiqh telah mendefinisikan al-khiyar
1.      menurut sayyid sabiq
khiyar ialah mencari kebaikan dari dua perkara, melangsungkan atau membatalkan (jual beli).
2.      M. abdul mujib
Khiyar ialah hak memilih atau menentukan pilihan anara dua hal bagi pembeli dan penjual, apakah akad jual beli akan diteruskan atau dibatalkan
3.      Wahbah al-zuhaily
Hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati sesuai dengan kondisi masing-masing pihak yang melakukan transaksi.
Hak khiyar ditetapkan syariat islam bagi orang-orang yang melakukan transaksi perdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebaik-baiknya. Dengan kata lain, diadakannya khiyar oleh syara’ agar kedua belah pihak dapat memikirkan lebih jauh kemaslahatan masing-masing dari akad jual belinya, supaya tidak menyesal di kemudian harin, dan tidak merasa tertipu.
Jadi, hak khiyar itu ditetapkan dalam islam untuk menjamin kerelaan dan kepuasan timbale balik pihak-pihak yang melakukan jual beli. Dari satu segi memang khiyar (opsi) ini tidak praktis karena mengandung arti ketidakpastian suatu transaksi, namun dari segi kepuasan pihak yang melakukan transaksi, khiyar ini yaitu jalan terbaik.
B.     Hukum Khiyar dalam Jual Beli
Hak khiyar (memilih) dalam jual beli, menurut islam dibolehkan, apakah akan meneruskan jual beli atau membatalkannya, tergantung keadaan (kondisi) barang yang diperjualbelikan.
Menurut Abdurrahman al-jaziri, status khiyar dalam pandangan ulama fiqh adalah disyariatkan atau dibolehkan, karena suatu keperluan yang mendesak dalam mempertimbangkan kemaslahatan masing-masing pihak yang melakukan transaksi.
Diabad modern yang serba canggih, dimana sistem jual beli semakin mudah dan praktis, masalah khiyar ini tetap diberlakukan, hanya tidak menggunakan kata-kata khiyar dalam mempromosikan barang-barang yang dijualnya, tetapi dengan ungkapan singkat dan menarik, misalnya: “Teliti sebelum membeli”. Ini berarti bahwa pembeli diberi hak khiyar (memilih) dengan hati-hati dan cermat dalam menjatuhkan pilihannya untuk membeli, sehingga ia merasa puas terhadap barang yang benar-benar ia inginkan.[1]
C.    Macam-macam khiyar
Secara umum khiyar terbagi atas :
1.      Khiyar Majlis (Hak Pilih di Lokasi Perjanjian)
Yang dimaksud dengan khiyar majlis adalah hak pilih bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian untuk membatalkan perjanjian atau melanjutkannya selama belum beranjak dari lokasi perjanjian.
Khiyar majlis ini sah menjadi milik si penjual dan si pembeli semenjak dilangsungkannya akad jual beli hingga mereka berpisah, selama mereka berdua tidak mengadakan kesepakatan untuk tidak ada khiyar, atau kesepakatan untuk menggugurkan hak khiyar setelah dilangsungkannya akad jual beli atau seorang di antara keduanya menggugurkan hak khiyar-nya, sehingga hanya seorang yang memiliki hak khiyar.
Khiyar ini terbatas hanya pada akad-akad yang diselenggarakan oleh dua pihak seperti akad muawazhot (tukar menukar seperti jual beli) dan ijaroh (persewaan).
Landasan dasar disyariatkannya khiyar ini adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda, “Apabila ada dua orang melakukan transaksi jual beli, maka masing-masing dari mereka (mempunyai) hak khiyar, selama mereka belum berpisah dan mereka masih berkumpul atau salah satu pihak memberikan hak khiyarnya kepada pihak yang lain. Namun jika salah satu pihak memberikan hak khiyar kepada yang lain lalu terjadi jual beli, maka jadilah jual beli itu, dan jika mereka telah berpisah sesudah terjadi jual beli itu, sedang salah seorang di antara mereka tidak (meninggalkan) jual belinya, maka jual beli telah terjadi (juga).” [2]
Dan haram meninggalkan majlis (tempat berlangsungnya akad/perjanjian) kalau khawatir dibatalkan. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَفْقَةَ خِيَارٍ وَلاَ يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفَارِقَ صَاحِبَهُ خَشْيَةَ أَنْ يَسْتَقِيلَهُ
“Pembeli dan penjual (mempunyai) hak khiyar selama mereka belum berpisah, kecuali jual beli dengan akad khiyar, maka seorang di antara mereka tidak boleh meninggalkan rekannya karena khawatir dibatalkan.” [3]

2.      Khiyar ‘Aib
a.        Arti dan Landasan Khiyar ‘Aib
ان يكون لأحد العاقدين الحق في فسخ العقد اوامضائه اذا وجد عيب في احد البد لين ولم يكن صاحبه عا لما به وقت العقدز
Artinya:
“Keadaan yang membolehkan salah seorang yang akad memiliki hak untuk membatalkan akad atau menjadikannya ketika ditemukan aib dari salah satu yang dijadikan alat tukar menukar yang tidak diketahui pemiliknya waktu akad.”
Ketetapan adanya khiyar mensyaratkan adanya barang pengganti, baik diucapkan secara jelas ataupun tidak, kecuali jika kecacatan barang pengganti tidak diperlukan lagi.
Khiyar aib disyariatkan dalam islam, yang didasarkan pada hadits-hadits yang cukup banyak, diantaranya:
المسلم اخوالمسلم باع من اخيه بيعا وفيه عيب الابينة له (رواهابن ماجه عن عقبة بن عامر)
Artinya:
“Seorang muslim dalah saudara muslim yang lainnya. Tidaklah halal bagi seorang muslim untuk menjual barang bagi saudaranya yang mengandung kecacatan, kecuali jika menjelaskannya terlebih dahulu.” (HR. Ibn Majah dari Uqbah bin Amir)
b.      ‘Aib Mengharuskan Khiyar
Manurut ulam Syafi’iyah adalah segala sesuatu yang dapat dipandang berkurang nilainya dari barang yang dimaksud atau tidak adanya barang yang dimaksud, seperti sempitnya sepatu, potongannya tanduk binatang yang akan dijadikan korban.
c.               Syarat Tetapnya Khiyar
Khiyar ‘aib setelah diteliti mempunyai beberapa syarat yaitu:[4]
1)      Adanya ‘aib setelah akad atau sebelum diserahkan, yakni ‘aib tersebut telah lama ada. Jika adanya setelah penyerahan atau ketika berada ditangan pembeli, ‘aib tersebut tidak tetap.
2)       Pembeli tidak mengetahui adanya cacat ketika akad dan menerima barang, tidak ada khiyar sebab ia dianggap telah ridho.
3)       Pemilik barang tidak mensyaratkan agar pembeli membebaskan jika ada caca. Denga demikian jika penjual mensyaratkan tidak ada khiyar. Jika pembeli membebaskan, gugurlah  hak dirinya. Hal itu sesuai dengan dengan pendapat ulama Hanafiyah.
Ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan menurut salah satu riwayat dari Hanabilah berpendapat bahwa seorang penjual tidak sah mintak dibebaskan kepada pembeli kalau ditemukan ‘aib, apabila ‘aib tersebtu sudah diketahui oleh keduanya, kecuali jika ‘aib tidak diketahui oleh pembeli.
d.              Waktu Khiyar ‘Aib
  Khiyar ‘aib tetap ada sejak munculnya cacat walaupun akad telah berlangsung cukup lama, mengenahi membatalkan akad setelah diketahui adanya cacat, baik secara langsung atau ditangguhkan, yaitu:
·         Ulama Syafi’iyah dan Malikiyah  berpendapat bahwa pembatalan akad harus dilakukan ketika diketahui cacat yakni secara langsung, tidak boleh ditangguhkan.
·          Ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa pembatalan akad harus dilakukan ketika diketahui cacat yang ditangguhkan, tidak secara langsung menurut adat.
`Untuk khiyar ini tidak dibatasi oleh waktu yang menagklibatkan habis dan tidaknya kesempatan akad.
e.              Perkara yang menghalangi untuk mengembalikan barang ma’qud ‘alaih (barang) yang cacat tidak boleh dikembalikan dan akad menjadi lazim dengan adanya sebab-sebab berikut:
1)      Ridha setelah mengetahui adanya cacat baik secara langsung maupun tidak langsung.
2)      Mangugurkan khiyar secara jelas maupun secara samar-samar.
3)      Barang yang rusak karena perbuatan pembeli atau berubah dari bentuk asal.
4)      Adanya tambahan barang pada barang yang bersatu dengan barang tersebut seperti munculnya buah dari tumbuhan atau lahirnya anak dari binatang.


3.              Khiyar Ru’yah
Yaitu khiyar bagi pembeli untuk menyatakan berlaku atau batal jual beli yang ia lakukan tehadap suatu objek yang belum ia lihat ketika akad berlangsung.[5]
Jumhur ulama fiqh yang terdiri dari ulama hanafiya, malikiyah, Hanabilah, dan Zahiriyah menyatakan bahwa khiyar ru’yah disyari’atkan dalam islam berdasrkan sabda Rasullah saw, yang menyatakan:
“Siapa yang membeli sesuatu yang belum ia lihat maka ia berhak khiyar apabila telah melihat barang itu”. (HR. Dar al-Quthni dari Abu Hurairah).
Akad seperti ini, menurut mereka boleh terjadi, disebabkan objek yang akan dibeli itu tidak ada di tempat berlangsungnya akad, atau karena sulit dilihat seperti membeli HP yang masih baru, yang oleh penjualnya tidak boleh dibuka.

4.      Khiyar Syarat (hak pilih berdasarkan persyaratan)
Yaitu kedua orang yang sedang melakukan transaksi jual beli mengadakan kesepakatan menentukan syarat, atau salah satu di antara keduanya menentukan hak khiyar sampai waktu tertentu, maka ini dibolehkan meskipun rentang waktu berlakunya hak khiyar tersebut cukup lama.
Dasar disyariatkannya hak pilih ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا أَوْ يَخْتَارَا
“Sesungguhnya dua orang yang melakukan jual beli mempunyai hak khiyar dalam jual belinya selama mereka belum berpisah, atau jual belinya dengan akad khiyar.” [6]
Dan juga berdasarkan hadits Habban bin Munqidz radhiyallahu ‘anhu. Ia sering kali tertipu dalam jual beli karena ketidak-jelasan barang jualan, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kepadanya hak pilih. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا بَايَعْتَ فَقُلْ لاَ خِلاَبَةَ
“Kalau engkau membeli sesuatu, katakanlah, ‘Tidak ada penipuan’’[7]
Dari sisi lain, terkadang memang amat dibutuhkan adanya hak pilih semacam ini, ketika pengalaman berniaga kurang dan perlu bermusyawarah dengan orang lain, atau karena alasan lainnya. Kemudian para ulama berbeda pendapat berkenaan dengan masa tenggang memutuskan pilihan tersebut. Ada di antara ulama yang membatasi hanya tiga hari saja. Ada juga yang menyatakan boleh lebih dari itu, tergantung kebutuhan.
Hak pilih ini juga bisa dimiliki oleh selain pihak-pihak yang sedang terikat dalam perjanjian menurut mayoritas ulama demi merealisasikan hikmah yang sama dari disyariatkannya persyaratan hak pilih bagi pihak-pihak yang terikat tersebut. Pendapat ini ditentang oleh Zufar dan Imam Asy-Syafi’i dalam salah satu pendapat beliau. Namun pendapat mayoritas ulama dalam persoalan ini lebih tepat.
Hak pilih persyaratan masuk dalam berbagai perjanjian permanen yang bisa dibatalkan. Adapun akad nikah, thalaq (perceraian), khulu’ (gugatan cerai dari istri) dan sejenisnya tidak menerima hak pilih yang satu ini, karena semua akad tersebut secara asal tidak bisa dibatalkan. Demikian pula hak pilih ini (khiyar syarat) tidak berlaku pada akad atau perjanjian yang tidak permanen seperti akad mudharabah (bagi hasil) dan akad syarikah (kontrak kerjasama dalam usaha). [8]
5.      Khyara at-ta’yin
Yang dimaksud dengan khiyar ta’yin yaitu hak pilih bagi pembeli dalam menentukan barang yang berbeda kualitas dalam jual beli. Contohnya adalah dalam pembelian barang yang mempunyai perbedaan kualitas, jadi dalam hal ini pembeli tidak mengetahui mana yang kualitas bagus dan kualitas sedang. Khiyar seperti ini menurut ulama Hanafiyah adalah boleh, dengan alasan bahwa produk sejenis yang berbeda kualitas sangat banyak, yang kualitas itu tidak diketahui secara pasti oleh pembeli, sehingga ia memerlukan bantuan seorang pakar. Agar pembeli tidak tertipu dan agar produk yang ia cari sesuai dengan keperluannya, maka khiyar ta’yin dibolehkan.
Akan tetapi jumhur ulama fiqh tidak menerima keabsahan khiyar ta’yin yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah. Alasan mereka, dalam akad jual beli ada ketentuan bahwa yang diperdagangkan harus jelas, baik kualitas maupun kuantitasnya. Dalam persoalan khiyar ta’yin, menurut mereka kelihatan bahwa identitas barang yang akan dibeli belum jelas. Oleh karena itu, ia termasuk ke dalam jual beli al ma’dum (tidak jelas identitasnya) yang dilarang syara’.
Ulama hanafiyah mengemukakan tiga syarat untuk sahnya khiyar ta’yin, yaitu :
a.       Pilihan dilakukan terhadap barang sejenis yang berbada kualitas dan sifatnya.
b.      Barang itu berbada sifat dan nilainya.
c.       Tenggang waktu untuk khiyar ta’yin ini harus ditentukan, menurut Imam Abu  Hanifah tidak lebih dari 3 hari.
Khiyar ta’yin hanya berlaku untuk transaksi yang bersifat pemindahan hak milik yang berupa materi dan mengikat bagi kedua belah pihak, seperti jual beli
D.    Hikmah khiyar secara umum
            Khiyar disyariatkan untuk menjaga kedua belah pihak berakad, atau salah satunya dari konsekuensi satu akad yang ia lakukan tanpa terlebih dahulu memastikan keinginannya untuk meneruskan akad atau tidak karena tidak ada pengalaman dalam menjual dan membeli  apalagi tidak semua orang bisa melakukan itu, terkadang akad tidak mengandung unsur penipuan dan dusta dengan begitu ridha tidak sempurna belum cukup sehingga dia ingin membatalkan akad.
            Dalam buku lain diungkapkan bahwa hikmah khiyar sebagai berikut:
1)      Khiyar dapat membuat akad jual beli berlangsung menurut prinsip-prinsip Islam, yaitu suka sama suka antara penjual dan pembeli.
2)      Mendidik masyarakat agar berhati-hati dalam melakukan akad jual beli, sehingga pembeli mendapatkan barang dagangan yang baik atau benar-benar disukainya.
3)      Penjual tidak semena-mena menjual barangnya kepada pembeli, dan mendidiknya agar bersikap jujur dalam menjelaskan keadaan barangnya.
4)      Terhindar dari unsur-unsur penipuan, baik dari pihak penjual maupun pembeli, karena ada kehati-hatian dalam proses jual beli.
5)      Khiyar dapat memelihara hubungan baik dan terjalin cinta kasih antara sesama.  

a.        Hikmah bagi penjual
            Mendapatka keiklasan dan tidak di anggap menipu oleh si pembeli, bersikap jujur dan terhindar dari teransaksi yang dilarang oleh agama. Bukan hanya itu saja, khiyar juga dapat mempererat tali persaudaraan antara sesama, dan mendapatkan kepercayan dari si pembeli.
b.      Hikmah bagi pembeli
            Mendapatkan barang yang dia suka tanpa ada rasa tertipu, rasa ikhlas dalam berteransaksi, serta rasa aman pada barang yang dia mau beli.[9]






BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
dilihat dari tujuannya, khiyar sangatlah penting dalam suatu transaksi apapun. Walaupun sekarang bentuk khiyar sudah bermacam-macam, akan tetapi tujuannya adalah sama, oleh karena itu khiyar tidak boleh tidak dilakukan.















DAFTAR PUTAKA
Ghazaly, abdul rahman, fiqh muamalat,(jakarta : kencana,2010)
Abdul Aziz Muhammad azzam, fiqh muamalat(jakarta: Amzah, 2010) cet ke-1
Haroen, nasrun, fiqh muamalah, (jakarta: gaya media pratama, 2007)
Suhendi, hendi, fiqh muamalah, (jakarta: raja grafindo, 2010)



[1] Fiqh muamalat, prof. dr. h. abdul rahman ghazaly, dkk ,(Jakarta :kencana, 2010) 97-98
[2] (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 332 no: 2112, Muslim 1163 no: 44 dan 1531, dan Nasa’i VII: 249).
[3] (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 2895, ‘Aunul Ma’bud IX: 324 no: 3439 Tirmidzi II: 360 no: 1265 dan Nasa’i VII: 251).
[4] Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung Pustaka Setia, 2001) Hal 104
[5] Abdul rahman ghazali, Ghufron ihsan, dan sapiudin shidiq, fiqh muamalat(jakarta: kencana,2010) cet ke-1 hlm101
[6] (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 326 no: 2107, Muslim III: 1163 no: 1531 dan Nasa’i VII: 248).
[7] .” (HR. Bukhari dalam kitab al-buyu’, bab ma yukrahu min al-khida’ fi al-bai’, no.2117, dan dalam kitab al-hiyal, no.4964; dan Muslim dalam kitab al-buyu’, bab man yukhda’u fil bai’, no.1533).
[8] (lihat Fiqhu As-Sunnah, karya Sayyid Sabiq juz III hlm.177).
[9] Nasrun Haroen,  Fiqh Muamalah. Gaya Media Pratama, 2007,Jakarta
             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar