Emang bener kata KH. Anwar zahid, “nikmat itu ngga harus enak”.
Kalau dipikir-pikr, nikmat itu adalah sesuatu yang ada didalam batin, sama
seperti cinta, nikmat itu tidak perlu alasan.
Hari
ini, aku menulis status di FB ku “adakalanya pencabutan nikmat oleh tuhan itu
dengan kekayaan”, tulisan itu bukan hanya sekedar tulisan, akan tetapi itu
adalah renungan panjang dari hati ini. Begini penjelasaannya.
Ini bermula dari kebiasaan, sering kali ketika ada orang kampung
dan pergi kekota mereka itu gawo “heran” dengan apa yang ada dikota.
Mereka heran melihat cahaya lampu ibukota yang kerlap kerlip sinarnya, tak kita
sadari itu adalah nikmat dari tuhan yang sangat agung, dimana orang-orang yang
sudah lama hidup di perkotaan, mereka sudah tidak bias menikmati lagi
kerlap-kerlipnya sinar lampu ibu kota, kadang mereka menganggap itu sebagai
pengganggu ketenangan karena kemerlipan sinarnya tadi. Orang kota selalu
menganggap orang desa dengan sebutan “KAMPUNGAN”, padahal dengan kekampungannya
tadilah allah memberikan nikmat yang begitu agung sampai-sampai orang kaya
tidak bias merasakannya.
Bukan hanya itu, contoh lain adalah ketika orang-orang kaya sudah
bosan hidup, mau pergi kemana, karena “mungkin” mereka sudah mengelilingi dunia
ini, mereka selalu jalan-jalan ke luar negri, amerika, Australia dll. Mereka
makan di mall-mall besar yang ber AC, akan tetapi sebenarnya mereka itu tidak
memiliki kenikmatan yang sesungguhnya. coba kita lihat anak-anak muda sekarang,
gayanya jalan-jalan ke mall ia selalu memegang HPnya, I-pon nya, gayanya sibuk
dengan jejaringan sosialnya, padahal tidaka ada BBM yang masuk, tidak ada sms yang masuk,
gayanya sibuk dengan FBnya, padahal hanya bolak-balik di profil dan brandanya,
itu adalah bukti bahwa sesungguhnya mereka itu tidak memiliki kenikmatan hidup,
dimana mereka selalu memikirkan unsur-unsur duniawi, mereka selalu
berlomba-lomba agar mereka terlihat gagah.
Berbeda dengan orang-orang yang ada dipedesaan “khususnya
temen-temen desaku”, dia hanya bermain di persil “hutan pinus yang dekat
dengan desaku”, disana dia mencari ranting-ranting pohon dengan temannya, sikap
gotong royong terjalin, dimana teman yang satu dengan yang lain selalu saling
membantu dalam mengumpulkan ranting-ranting pohon, mereka ngga harus jauh-jauh
mencari pemandangan di luar negeri, mereka hanya berpindah tempat, mancing di
sungai-sungai, dan bermain di sawah-sawah sembari membantu orang tuanya, kadang
bermain dengan kerbau-kerbau penarik garu sawah. Akan tetapi nikmat itu sangat
terasa. Ketika lapar mereka tak perlu ke mall-mall bertingkat sejuta, tapi
mereka hanya berada di gubuk kecil di tengah sawah, mereka hanya memakan
berlauk tempe yang dicampur dengan sambal yang di tempatkan pada daun pisang
ditemani dengan kicauan burung-burung dan gercikan suara sungai, akan tetapi
sekali lagi, nikmat itu begitu terasa. Mereka tak perlu membawa HP yang harganya
mahal, akan tetapi mereka cukup membawa pancing yang harganya tidak mencapai
RP. 1000’00, mereka tak perlu so sibuk dengan jejarinag social, akan tetapi
mereka bernyanyi bersama, menyanyikan tembang-tembang jawa yang merdu itu.
Disini tidak ada kata-kata saingan akan tetapi mereka saling
membantu untuk mencapai kesenangan. Begitu agunglah nikmat-nikmat allah, bukan
hanya orang yang kaya yang bias merasakannya, akan tetapi orang-orang yang
tidak kayapun bias merasakan kenikmatan yang lebih besar dari orang-orang yang
kaya itu. Oleh karena itu, janganlah kalian memandang seseorang dengan materi
yang dia miliki, karena sesungguhnya materi “harta” itu tidak menjamin akan
mendatangkan kenikmatan yang besar dari allah swt.
Jogjakarta
16 nov 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar